Lahan bakau alias mangrove seluas 60.000 hektare di Provinsi Sulawesi Selatan berpotensi masuk perdagangan karbon.
Hal tersebut disampaikan Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman di Makassar, Senin (4/9/2023).
“Lahan mangrove Sulawesi Selatan seluas 6.000 hektare ini memiliki potensi untuk perdagangan karbon di dunia,” kata Sudirman, sebagaimana dilansir Antara.
Dia mengatakan, beberapa lahan mangrove yang ada dan telah dikembangkan menjadi ekowisata.
Dia berharap, lahan mangrove tersebut dapat dijaga oleh masyarakat sekitar untuk menjadi potensi perdagangan karbon.
Beberapa lahan mangrove yang sudah dijadikan ekowisata seperti Lantebung di Makassar, Tongke-tongke di Kabupaten Sinjai, dan Luppung di Kabupaten Bulukumba.
Sudirman mencontohkan, ada seorang petani di Kalimantan Timur yang meraup penghasilan miliaran rupiah dari hasil mangrove yang ditanam.
Dia menambahkan, pihaknya telah mengirim tim untuk belajar ke sana dan akan menerapkan hal serupa di Sulawesi Selatan.
“Sosialisasi budidaya mangrove dan juga rumput laut yang memiliki potensi untuk menyerap karbon ini dapat menjadi peluang dalam perdagangan karbon dunia,” jelas Sudirman.
Khusus kawasan mangrove Lantebung dengan luas 12 hektare, pengembangannya dilakukan kelompok pemuda yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Lantebung (IKAL).
“Kawasan mangrove yang sudah menjadi ekowisata mangrove Lantebung ini diresmikan pada awal Covid-19 tahun 2020,” kata salah satu pengurus IKAL, Ade Saskia Ramadina.
Pemeliharaan dan pengelolaan ekowisata mangrove Lantebung dilakukan oleh masyarakat setempat.
Selain itu, pengelolaannya juga mendapat dukungan dari pihak Dinas Pariwisata Kota Makassar dan Bank Indonesia Sulawesi Selatan.
Ade mengatakan, setiap tahun IKAL menggelar penanaman massal bibit mangrove di Lantebung melalui program Hutan Merdeka.
Tahun ini program Hutan Merdeka di kawasan mangrove Lantebung sudah memasuki tahun kelima.
Sumber : KOMPAS