Home » Blog » Penampakan Katak Spesies Baru di Sulawesi
Animals ASEAN Indonesia News Sulawesi

Penampakan Katak Spesies Baru di Sulawesi


Penampakan katak spesies baru diabadikan dalam sebuah foto oleh tim peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Mereka menemukan katak spesies baru endemik Sulawesi.

Katak yang kemudian diberi nama Oreophryne riyantoi ini ditemukan pada serasah daun hutan pegunungan, di Gunung Mekongga, Sulawesi Tenggara, pada ketinggian 2528 mdpl.

Asal usul nama “riyantoi” pada katak berwarna cokelat ini didedikasikan untuk Awal Riyanto, seorang peneliti senior yang saat ini aktif meneliti di PRBE BRIN.

“Apresiasi tersebut diberikan sebagai bentuk pengakuan atas kontribusinya yang luar biasa dalam bidang taksonomi dan konservasi herpetofauna di Sulawesi,” ungkap Auni Ade Putri, salah satu peneliti yang terlibat dalam temuan ini.

Dasar penemuan Oreophryne riyantoi, didukung dari data morfologi dan analisis filogenetik gen 16S rRNA.

Seperti dikutip dari laman resmi BRIN, hasil identifikasi menyebutkan, spesies baru ini didiagnosis memiliki moncong bulat pada tampilan punggung dan lateral, membran timpani tidak jelas, jarak interorbital sempit, tangan kecil, jari tangan dan kaki tidak berselaput, cakram terminal pada jari tangan dan kaki kecil, kakinya yang sangat pendek, serta permukaan punggung kepala, badan, dan anggota badan dengan tuberkel yang tidak teratur.

“Akhirnya, berdasarkan analisis mendalam dan sejumlah pendekatan identifikasi lainnya, tim sepakat dan meyakini spesimen kali ini tervalidasi sebagai spesies berbeda, serta belum memiliki nama ilmiah,” papar Auni.

Dalam proses identifikasi, tim memeriksa morfologi 50 spesimen Oreophryne Sulawesi dan mengenali spesies berbeda yang belum terdeskripsikan.

Menariknya, biasanya genus Oreophryne ditemukan tinggal di daerah terestrial, seperti padang rumput terbuka di dataran tinggi atau padang rumput yang didominasi pakis.

Namun kali ini tim menemukan Oreophryne riyantoi hidup di hutan pegunungan.

Amir Hamidy, peneliti lain yang terlibat memaparkan juga bahwa kegiatan penelitian herpetologi, termasuk survei dataran tinggi dan penelitian taksonomi tambahan masih sangat diperlukan untuk mencapai pemahaman komprehensif tentang keanekaragaman Oreophryne dan filogeografinya di Sulawesi.

Apalagi amfibi Sulawesi yang menghuni dataran rendah hingga pegunungan saat ini menghadapi ancaman, berupa hilangnya habitat di pulau ini dan perubahan iklim global.

“Studi taksonomi Oreophryne dan diagnosis spesies baru telah lama terhambat, karena beberapa spesies tidak ditemukan lagi sejak pertama kali dideskripsi, sehingga sebagian besar belum dipelajari,” tambah Amir.

Oleh karena itu, eksplorasi herpetologi (khususnya taksonomi) tetap menjadi prioritas di wilayah yang terkena dampak.

Pekerjaan seperti ini juga akan mendukung keanekaragaman hayati dan upaya konservasi para pemangku kepentingan di pulau ini.

Empat spesies Oreophryne Dengan temuan ini, kini telah terdapat empat spesies endemik Oreophryne di Sulawesi.

Sebelumnya, diketahui hanya ada tiga spesies endemik Oreophryne ditemukan di Sulawesi.

Di antaranya Oreophryne celebensis di Pegunungan Boelawa dan Lembah Totoiya, Gunung Sudara di Sulawesi Utara, Oreophryne variabilis yang dideskripsikan dari Gunung Lompobatang, Sulawesi Selatan dan baru-baru ini juga dilaporkan dari Pegunungan Mekongga, Sulawesi Tenggara, dan yang ketiga adalah Oreophryne zimmeri yang diketahui hanya dari tipe lokalitasnya di Pegunungan Mekongga.

Katak Oreophryne sendiri mencapai keragamannya di daratan New Guinea dan di pulau-pulau sekitarnya.

Genus ini juga meluas ke wilayah Wallacea di Maluku, Sulawesi, dan Kepulauan Sunda Kecil, Lombok, Sumbawa, Komodo, Rinca, dan Flores, bahkan sampai ke kawasan Oriental di Bali, dan Kepulauan Filipina bagian selatan Mindanao dan Biliran.

Sebuah penelitian terbaru menunjukkan, genus ini mungkin telah bermigrasi dari New Guinea ke Asia Selatan. Secara morfologi dan ekologis, Oreophryne memang beragam, namun pada dasarnya bersifat scansorial dan arboreal.

Oleh karena itu, banyak spesies yang dideskripsikan memiliki cakram digital yang membesar dengan kaki belakang yang relatif panjang sebagai adaptasi untuk memanjat. Temuan katak baru ini dipublikasikan pada 12 Oktober 2023 dalam Jurnal Zootaxa Volume 5353 Nomor 5.

Sumber : Tribunnews

Translate