Di ketinggian 2.528 meter di atas permukaan laut Gunung Mekongga, Sulawesi Tenggara, tim peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan spesies baru katak. Spesies katak baru ini pun telah diberi nama yaitu Oreophryne riyantoi.
Periset Biosistematika dan Evolusi BRIN,Auni Ade Putri mengatakan, asal-usul nama riyantoi didedikasikan untuk seorang peneliti senior yang saat ini aktif meneliti pada Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN yaitu Awal Riyanto.
“Apresiasi tersebut diberikan sebagai bentuk pengakuan atas kontribusinya yang luar biasa dalam bidang taksonomi dan konservasi herpetofauna di Sulawesi,” kata Auni dalam keterangan resmi, Rabu, 18 Oktober 2023.
Spesies baru ini didiagnosis memiliki moncong bulat pada tampilan punggung dan lateral, membran timpani tidak jelas, jarak interorbital sempit, tangan kecil, jari tangan dan kaki tidak berselaput, cakram terminal pada jari tangan dan kaki kecil, kakinya yang sangat pendek, serta permukaan punggung kepala, badan, dan anggota badan dengan tuberkel yang tidak teratur.
“Berdasarkan analisis morfologi dan filogenetik dan sejumlah pendekatan identifikasi lainnya, tim sepakat dan meyakini spesimen kali ini tervalidasi sebagai spesies berbeda, serta belum memiliki nama ilmiah,” ungkapnya.
Disebutkan, ada yang menarik dari katak jenis baru kali ini. Biasanya, genus Oreophryne ditemukan tinggal di daerah terestrial, seperti padang rumput terbuka di dataran tinggi atau padang rumput yang didominasi pakis. “Namun uniknya, kali ini tim menemukan Oreophryne riyantoi hidup di hutan pegunungan,” ungkap Wahyu.
Dalam proses identifikasi, tim memeriksa morfologi 50 spesimen Oreophryne Sulawesi dan mengenali spesies berbeda yang belum terdeskripsikan. Seluruh spesimen Oreophryne riyantoi dikumpulkan Wahyu dkk. pada 20 November 2011, di Gunung Mekongga, Pegunungan Mekongga, Kecamatan Wawo, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.
“Holotipe tersimpan di Museum Zoologicum Bogororiense (MZB), Direktorat Pengelolaan Koleksi Ilmiah BRIN, dengan paratipe seekor jantan dewasa dan seekor jantan remaja,” terangnya.
Sebelumnya, diketahui hanya tiga spesies endemik Oreophryne ditemukan di Sulawesi. Diantaranya Oreophryne celebensis di Pegunungan Boelawa dan Lembah Totoiya, Gunung Sudara (dikenal juga sebagai Gunung Dua Saudara) di Sulawesi Utara, Oreophryne variabilis yang dideskripsikan dari Gunung Lompobatang, Sulawesi Selatan dan baru-baru ini juga dilaporkan dari Pegunungan Mekongga, Sulawesi Tenggara, dan yang ketiga adalah Oreophryne zimmeri yang diketahui hanya dari tipe lokalitasnya di Pegunungan Mekongga.
Katak Mini, Oreophryne, mencapai keragamannya di daratan New Guinea dan di pulau-pulau sekitarnya. Genus ini juga meluas ke wilayah Wallacea di Maluku, Sulawesi, dan Kepulauan Sunda Kecil, Lombok, Sumbawa, Komodo, Rinca, dan Flores, bahkan sampai ke kawasan Oriental di Bali, dan Kepulauan Filipina bagian selatan Mindanao dan Biliran.
Sebuah penelitian terbaru menunjukkan, genus ini mungkin telah bermigrasi dari New Guinea ke Asia Selatan.
Secara morfologi dan ekologis, Oreophryne memang beragam, namun pada dasarnya bersifat scansorial dan arboreal. Oleh karena itu, banyak spesies yang dideskripsikan memiliki cakram digital yang membesar dengan kaki belakang yang relatif panjang sebagai adaptasi untuk memanjat.
Amfibi Sulawesi yang menghuni dataran rendah hingga pegunungan saat ini menghadapi ancaman, berupa hilangnya habitat di pulau ini dan perubahan iklim global. Eksplorasi herpetologi (khususnya taksonomi) tetap menjadi prioritas di wilayah yang terkena dampak. Pekerjaan seperti ini juga akan mendukung keanekaragaman hayati dan upaya konservasi para pemangku kepentingan di pulau ini.
Sumber : Betahita