Rencana latihan militer bersama ASEAN yang digagas Indonesia tidak segera mendapat dukungan dari negara-negara ASEAN. Mengapa demikian? Apa sesungguhnya urgensi latihan militer bersama itu?
Satu minggu setelah Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Laksamana Yudo Margono mengumumkan rencana melangsungkan latihan militer bersama negara-negara ASEAN pada September mendatang di Laut Cina Selatan, belum ada satu negara pun yang menyampaikan pernyataan resmi akan hal itu. Padahal latihan yang tidak akan mencakup operasi perang itu dimaksudkan untuk memperkuat sentralitas ASEAN.
Panglima Angkatan Bersenjata Kamboja Jenderal Vong Pisen hari Selasa (13/6) mengatakan pihaknya telah membentuk satuan tugas untuk mengkaji usul itu dan menunggu keputusan dari Kementerian Pertahanan. Sementara juru bicara Kementerian Pertahanan Kamboja Jendral Chhum Socheat mengatakan kepada VOA, “belum dapat mengkonfirmasi keikutsertaan dalam rencana latihan militer gabungan ASEAN itu.” Sikap serupa juga ditunjukkan sembilan negara anggota ASEAN lainnya.
Menurut pengamat pertahanan dan keamanan di Badan Riset dan Inovasi Nasional BRIN, Muhammad Haripin, sikap pasif sebagian besar negara anggota ASEAN atas rencana latihan militer bersama itu menegaskan kembali format ASEAN sebagai forum konsultasi dan ekonomi. Ketika berbicara isu pertahanan dan keamanan, mayoritas negara anggota ASEAN cenderung berpikir menarik diri dan berpikir masak-masak.
“Pertama, ada kekhawatiran dari negara-negara itu karena maksud dari (pembentukan) ASEAN bukan sebagai suatu pakta pertahanan. Kedua, ada pandangan internal bahwa masalah pertahanan itu masalah domestik. Jadi kalau sudah bicara tentang kerjasama pertahanan dan sebagainya, ada kekhawatiran nanti ASEAN itu juga bisa mencampuri urusan domestik negara anggotanya,” tutur Haripin.
Lebih jauh Haripin mengatakan ASEAN bukan anti kerjasama keamanan karena di dalam forum ini sudah terdapat “Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN,” Forum Regional ASEAN” ARF yang dibentuk tahun 1994, “Forum Menteri Pertahanan ASEAN” ADMM sejak 2006, dan ADMM Plus Empat Negara Mitra yang didirikan pada 2010 lalu.
Menurutnya diperlukan lobby untuk meyakinkan negara-negara ASEAN yang skeptis, sungkan atau menolak rencana latihan militer gabungan yang diusulkan Indonesia, bahwa latihan semacam ini tetap akan mengakomodir kepentingan nasional mereka.
Ujian Bagi Kepemimpinan Indonesia
Sementara itu pengamat hubungan internasional di Universitas Diponegoro Mohamad Rosyidin, justru melihat lokasi latihan yang direncanakan berlangsung di Laut Cina Selatan yang bisa jadi menyurutkan hasrat sebagian negara anggota ASEAN. Selain soal pandangan atas konflik di Laut Cina Selatan yang tidak sama, tarik menarik dengan Tiongkok tampaknya menjadi salah satu pertimbangan lain, tambahnya.
Rosyidin melihat latihan militer gabungan ASEAN ini sebagai ujian bagi kepemimpinan Indonesia di ASEAN, terutama dalam menyikapi konflik Laut Cina Selatan.
“Mungkin dengan usulan ini, Indonesia ingin menguji apakah ASEAN cukup kompak dalam isu Laut Cina Selatan. Kita lihat sejauh ini beberapa negara (ASEAN) terlihat belum menunjukkan persetujuannya. Yang paling menonjol Kamboja, kelihatannya sikpanya dilematis,” kata Rosyidin.
Rosyidin membantah jika ada anggapan bahwa rencana latihan militer gabungan yang diusulkan Indonesia itu untuk mencari muka pada Amerika. Apapun bentuk kerjasama di ASEAN, biasanya akan selalu didukung oleh Amerika, ujarnya.
Muhammad Haripin mendukung hal ini, dan menggarisbawahi rencana latihan militer ini sebagai salah satu upaya menunjukkan kepada Amerika, Tiongkok, Uni Eropa dan lainnya pada ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) menegaskan upaya untuk mempertahankan perdamaian, keamanan, stabilitas, dan kemakmuran di Indo Pasifik secara netral.
Sumber: VOA Indonesia